Poligami dan Nikah Siri
1. Poligami
1.1.Pengertian
1.1.1. Bahasa
Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu pernikahan yang banyak 1.1.2. Islam
Poligami adalah pernikahan seorang muslim kepada lebih dari satu istri, dengan batasan maksimal dibolehkan empat istri. Poligami adalah sunnah Rasulullah saw. Rasulullah saw berpoligami dengan batasan khusus untuk nabi yang berbeda dengan umatnya.
Di antara motif poligami Rasulullah adalah motif dakwah dengan menikahi wanita dari beberapa suku Arab agar berefek kepada penyebaran Islam di suku Arab tersebut. Salah satu solusi masalah sosial yang muncul adalah dengan diperbolehkannya poligami.
Masalah sosial yang timbul akibat berlebihnya jumlah perempuan dibandingkan pria akibat perang atau karena hal lainnya. Dengan poligami masyarakat terhindar dari penyakit dan masalah sosial yang timbuk akibat ketidakseimbangan jumlah pria dan wanita.
1.2.Syarat-syarat
1- Seorang yang mampu berbuat adil
Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)
2- Aman dari lalai beribadah kepada Allah
Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)
3- Mampu menjaga para istrinya
Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4- Mampu memberi nafkah lahir
Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)
1.3.Dalil-dalil
Dalil yang memperbolehkan berpoligami ada di surah An-Nisa ayat 3 yang artinya “Dan kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat-Ayat al-Qur-an tentang Hal Itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [An-Nisaa’/4: 3].
Sebab Turunnya Ayat dan Maknanya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Urwah bin az-Zubair, ia menuturkan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, (وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى ) “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),” ia menjawab, ‘Wahai keponakanku, anak perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini bercampur dengan harta walinya. Rupanya, harta dan kecantikannya mengagumkan walinya, sehingga walinya berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam memberikan mahar kepadanya sebagaimana yang diberikan kepada selainnya. Karena itu, mereka dilarang menikahi perempuan yatim itu, kecuali bila berlaku adil kepada mereka dan memberikan kepada mereka mahar yang layak, serta mereka diperintahkan supaya menikahi wanita-wanita yang mereka senangi selain mereka (wanita-wanita yatim yang berada dalam perwaliannya).’”
‘Urwah menuturkan bahwa ‘Aisyah mengatakan, “Orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah ayat ini (turun), lalu turunlah firman Allah:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ
‘Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita…’” [An-Nisaa’/4: 127].
‘Aisyah melanjutkan, “Allah berfirman dalam ayat lain:
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
‘Sedang kamu ingin mengawini mereka… ‘ [An-Nisaa’/4: 127].
Karena salah seorang dari kalian tidak suka menikahi wanita yatim yang menjadi perwaliannya jika hartanya sedikit dan ke-cantikannya kurang. Oleh karena itu, mereka dilarang menikahi wanita yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali dengan adil, karena mereka tidak menyukai wanita yatim jika harta-nya sedikit dan kecantikannya kurang.”[1]
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Makna firman Allah: ( مَثْنَـى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ) ‘Dua, tiga atau empat.’ (An-Nisaa’: 127), yakni nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka; jika salah seorang dari kalian suka, silahkan menikah dengan dua wanita dan jika suka, silahkan menikah dengan empat wanita.”[2]
Al-Fakhrur Razi berkata, “Dibolehkan menikahi dua wanita jika suka, tiga wanita jika suka dan empat wanita jika suka. Dibolehkan menikahi sejumlah ini bagi siapa yang suka. Jika dia takut tidak dapat berbuat adil, cukuplah dengan dua orang wanita. Dan jika dia masih takut tidak dapat berbuat adil di antara kedua-nya, maka cukupklah menikahi satu wanita saja.”
Dalil Dari Sunnah.
Imam asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Musnadnya dari Naufal bin Mu’awiyah ad-Daili, ia mengatakan, “Aku masuk Islam, sedangkan aku mempunyai lima isteri, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Pilihlah empat, mana di antara mereka yang engkau sukai, dan ceraikanlah yang lainnya.’ Lalu aku mendatangi wanita yang paling lama menjadi pendamping, yang sudah tua lagi mandul, bersamaku sejak 60 tahunan, lalu aku menceraikannya.”[5]
Adapun makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“… Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki…” [An-Nisaa’/4: 3].
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…” [An-Nisaa’/4: 129].
Para ulama mengatakan, “Mereka tidak akan dapat berlaku adil di antara para isteri berkenaan dengan apa yang terdapat dalam hati dan Allah memaafkannya. Dan mewajibkan keadilan dalam perkataan dan perbuatan. Jika dia condong dengan suatu ucapan atau perbuatan, maka itulah kecenderungan (ketidakadilan).”[7]
Kompromi di antara dua ayat ini, bahwasanya Allah membolehkan menikahi empat orang isteri, tetapi dengan syarat harus berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan. Adapun adil dalam cinta di antara mereka, maka kalian tidak akan mampu berbuat adil walaupun kalian menginginkannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jatah dan berbuat adil, lalu beliau berucap:
اَللَّهُمَّ، هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكَ.
“Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memiliki.”
Makna ucapan tersebut, bahwa beliau tidak memiliki apa yang ada dalam hatinya berupa cinta kepada sebagian isteri yang lebih mendalam daripada cintanya kepada sebagian yang lain. Sebab, hati adalah kepunyaan Allah; Dia memalingkannya bagaimana yang Dia sukai.
Dengan demikian, syarat untuk menikahi empat wanita adalah keadilan, bukan keadilan dalam perkara yang terdapat dalam hati. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita di akhir ayat ini dengan firman-Nya, (فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ ) “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai).” Tetapi Allah tidak memerintahkan kepada kita supaya tidak menikahi empat wanita, karena apa yang terdapat dalam hati adalah kepunyaan Allah. Dia Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa kita tidak akan mampu ber-buat adil di dalamnya. Oleh karena itu, hendaklah masing-masing dari kita tidak cenderung melebihi kelaziman sehingga berdampak buruk kepada yang lainnya.
Adapun jika tidak dapat berbuat adil dalam menjatah giliran malam, harta dan selainnya, maka sebaiknya dia -bahkan harus- mencukupkan satu wanita saja. Jika tidak, maka dia termasuk golongan yang disinyalir oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً.
“Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari Kiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.”[8]
Dalam riwayat lain:
فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Lalu dia condong kepada salah satu dari keduanya, maka dia datang pada hari Kiamat dalam keadaan sisi tubuhnya condong.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian lainnya dalam hal menjatah untuk tinggal di sisi kami. Terkadang beliau mengelilingi kami semua, lalu beliau mendekati setiap isterinya tanpa persetubuhan, hingga beliau sampai kepada isterinya yang mendapat giliran pada hari itu lalu tinggal di sisinya.”[9]
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bepergian, maka beliau mengundi di antara isteri-isterinya; mana di antara mereka yang keluar bagiannya, maka dia keluar bersama beliau. Dan beliau menjatah untuk tiap-tiap mereka malam dan siang harinya.”[10]
Jabir bin Zaid berkata, “Aku mempunyai dua isteri dan aku berlaku adil di antara keduanya hingga dalam masalah ciuman.”
1.4.Undang-undang Pernikahan di Indonesia
menurut UU Indonesia menyatakan bahwa asas pernikahan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dalam hukum UU Indonesia, pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan terdapat syarat-syarat yang berlaku seperti dalam pasal 4 ayat 2 seperti jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri memiliki cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Namun ada syarat komulatif yang harus dijadikan rujukan juga dalam pasal 5 ayat 1 bahwa poligami boleh dilakukan bila mendapat persetujuan istri/istri-istri, mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak, serta jaminan akan berlaku adil.
1.5.Teladan Rasulullah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berbuat Adil
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat adil terhadap istri-istrinya dalam urusan yang memang dituntut untuk adil. Adapun dalam urusan yang tidak dimampui oleh manusia, beliau pun tidak bisa menyamakannya, seperti rasa cinta beliau terhadap Aisyah x yang lebih besar daripada istri-istri beliau yang lain.
Namun, seperti yang telah disinggung di atas, dalam urusan yang dimampui hamba, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan dalam keadilan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi dengan adil tanpa melebihkan satu dari yang lain dalam hal giliran bermalam di antara istri-istri beliau, terkecuali Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang telah menghadiahkan gilirannya untuk Aisyah x, demi mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang semula hendak menceraikannya, namun urung dengan ishlah yang dilakukan oleh Saudah berupa menggugurkan sebagian haknya asal tetap menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, dialah yang menemani beliau safar. Seandainya beliau mau, niscaya beliau akan selalu membawa Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam safar beliau, karena Aisyah sangat beliau cintai melebihi yang lain. Kenyataannya, beliau tidak melakukannya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mempersaksikan hal ini dalam haditsnya yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
Saking inginnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berbuat adil, sampai-sampai saat sakit menjelang ajalnya, beliau tetap menggilir istri-istrinya semalam-semalam. Beliau datang dan menginap di rumah istri yang sedang mendapat giliran. Sampai di saat sakit beliau bertambah parah sehingga beliau tidak sanggup lagi berjalan, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anhadan dirawat di sana.
Para istri beliau yang salehah lagi penuh kelapangan hati pun mengizinkan. Ketika beliau yakin mereka ridha, beliau pun tinggal di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, tidak di tempat istri yang lain, sampai ajal menjemput beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan,
Di saat sakit yang mengantarkan kepada wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan. Lantas beliau tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. (HR. al-Bukhari no. 5217)
2. Nikah Siri
2.1.Pengertian
2.1.1. Bahasa
nikah siri itu sendiri adalah bahasa arab sirri/sir yang memiliki arti rahasia dan nikah siri itu sendiri bisa dikatakan sah dari pandangan agama islam namun belum sah jika dipandang dalam hukum karena tidak ditulis di KUA (kantor urusan agama)
2.1.2. Sederhana
Pernikahan siri merupakan pernikahan yang dilakukan tanpa wali atau pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat-syarat lainya tetapi tidak dicatat di KUA setempat. Sedangkan menurut hukum negara, setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat pernikahannya dilangsungkan.
2.1.3. Menurut Masyarakat
– Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita.
– Nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).
2.2.Pemahaman Nikah Siri
Nikah siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)
Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis Al-Habir, 3:156)
Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya. Keterangan tentang urutan siapa saja yang berhak menjadi wali, telah dijelaskan di: https://konsultasisyariah.com/urutan-wali-nikah/
Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.
Selanjutnya, jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah, dst.
Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:
Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59)
Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.
Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai istri.
Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.
Dus, jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.
Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri. Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah..
Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.
Sebagai warga negera yang baik, kita perlu memenuhi tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki akta kelahiran. Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga Anda.
Allahu a’lam
2.3.Kerugian Nikah Siri
Nikah siri online ini sangat merugikan khususnya bagi kaum wanita karena mereka tidak terlindungi secara hukum. Jika pernikahannya bermasalah, sang istri tidak akan bisa mendapatkan hak-haknya seperti hak waris, hak gono-gini, dan hak-hak perlindungan hukum lainnya. Bahkan negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku nikah siri dengan alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban karena sekitar 35 juta anak di Indonesia yang lahir dari pernikahan siri sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya.
3. Perbedaan Poligami dan Nikah Siri
Antara nikah siri dan poligami. Kita harus bijak memahami keduanya. Menikah lagi sebenarnya diperbolehkan dalam Islam. Baik nikah siri atau poligami adalah sah jika dilakukan sesuai dengan rukun nikah. Hanya saja, untuk nikah siri tidak dibenarkan jika tidak tercatat dalam catatan sipil sesuai dengan UU Indonesia yang berlaku.
Jadi, bagi para lelaki yang ingin “menikah lagi”, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa jangan sampai berkurang maknanya pernikahan hanya untuk kepentingan pelampiasan seksual saja, tetapi ikuti aturan mainnya sesuai syariat Islam dan hukum negara. Semuanya semata-mata demi menuju keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dan mendapat keterjaminan fasilitas dari negara bagi anak-anak dari hasil pernikahan tersebut, wallahu a’lam.